MY SPIRIT

KADO TERINDAHKU DI TAHUN BARU INI ADALAH KAMU SUAMIKU MY LIFE MY SPRIT, I LOVE YOU SO MUCH

Senin, 12 Januari 2015

Kemanusiaan yang rakus dan biadab


Ukhhhh……Bising banget seh!!! Kuaambil guling kutekan rapa-rapat pada telingaku, karena tak sedikitpun mata ini bisa tertutup mendengar suara bising dan pukulan keras dari samping tembok kosku. Terdengar suara orang menangis dari depan pintu kos mungilku itu. “Mama…Uangta…” ternyata si Resti anak Ibu kosku yang paling tua. Dia menangis meraung-raung hanya karena ingin meminta uang seribu. Namun tak sedikitpun ada tanda-tanda bahwa dia akan mendapatkan uang seribu rupiah dari mamanya. Maklum kehidupan ekonomi mereka sangat terbatas. Terkadang dalam sehari, mereka tidak memiliki lauk pauk untuk sekedar mengenyangkan perut mereka dari lilitan lapar yang semakin memerih. Raungan Resti semakin menjadi-jadi dan lebih menggila lagi. Bantal guling ini semakin kutekan pada telingaku. Hatiku semakin kacau dengan keadaan ini. Ditambah pula dengan suhu kota Makassar mencapai 32˚C, menambah suasana menjadi panas dan mengundang emosiku karena tak sedikuipun bisa memejamkan mata. Terdengar suara motor merendah di samping kosku.

Kenapaki menagis nak?” Ternyata bapak kosku yang baru datang dari tempat kerjanya. “Mama Pak, tidak mau nakasika uang seribu, mauka belli somay” sambil terisak. “ini uang, kasi juga Agung adikmu” sambil menyodorkaan lembaran dua ribuan. Dengan seketika derai tangis itupun berhenti. Meskipun bapak Kosku berprofesi sebagai seorang satpam dia tahu, meskipun serba kekurangan dia tetap tahu bagaimana harus menyenangkan hati rakyat-rakyat kecilnya di rumah. Beda dengan para koruptor yang hanya tau meraup uang Negara dan membuat rakyat-rakyat kecil menjadi sasaran penderitaan akibat ulah mereka yang tidak senonoh itu.

Namun mata ini belum bisa pula kupejamkan. Masih terdengar suara bising dari samping kosku. Pukulan itu semakin kencang memekakkan telingaku. “Akhh…..ribut banget seh….”. Akupun berdiri sambil mengumpat gak karuan, emosiku sepertinya sudah tak bisa kubendung lagi. Kuambil bukuku yang berjudul Huru -ara di Irak, di samping lemari bajuku. Kehadiran buku itu mulai sedikit mengobati kepenatanku. Mengobati tragedi kantukku yang sedari tadi mulai buram dan menghilam di pelupuk mataku. Kubaca dengan seksama buku Ini yang ikut menenggelamkan fikiranku menuju ke tahun 2003 silam pasca penggempuran Amerika terhadap Irak yang begitu biadab selama 43 hari. Dengan tuduhan Irak memiliki senjata pemusnah massal yang bisa mengancam kehidupan Amerika. Tentunya yang paling diuntungkan dalam kondisi perang ini adalah Amerika dan Zionis Israel. Sebab, setelah kejatuhan Saddam maka tidak ada lagi satu Negara telukpun yang berani membangkan kebijakan Amerika ke depan. Irakpun menjadi Negara boneka Amerika. Naudzubillah min dzalik.

Ada satu hal yang membuatku sangat terenyuh. Amerika memiliki sebuah senjata yang memekakkan telinga, bahkan bisa memecahkan gendang telinga. Sehingga menimbulkan rasa takut yang mencekam pada kelompok anak-anak dan wanita saat perang berlangsung.. Aku mulai sedikit tersindir dengan keadaan di buku ini. Tak bisa kubayangkan betapa mereka mengalami ketakutan yang tak terperikan, sementara aku siang ini mengumpat habis-habisan karena tidak bisa tidur mendengarkan suara bising dari samping kosku. Sementara pandanganku melayang melanglang buana mereka-reka ketakutan mereka. Seolah-olah ketakutan itu bermain di pelupuk mataku. Apakah kita pernah memikirkan ketakutan mereka di balik kesenangan kita? Apakah kita pernah membandingkan keadaan kita yan gemerlap dan segala kemewahan yang kita milki dibandingkan apa yang mereka alami dan lalui selama ini?

Apakah kita pernah merasakan ketakutan yang mereka alami saat dentuman-dentuman melemahkan nadi dan urat saraf mereka? Ini hanyalah sebuah contoh kecil yang tak pernah kita fikirkan.


Yang kita tahu hanyalah menyalahkan oang lain, mengumpat dan menebarkan  berjuta-juta keluh tanpa memandang bahwa masih banyak yang lebih menderita daripada kita. Masih banyak jiwa-jiwa yang hidupnya tak tentu, berjalan, mengais seonggok luka hingga kemudian menelan banyak duri dalam hidupnya. Sampai kapan kejadian-kejadian seperti ini usai dengan segala kebiadabannya. Kututup bukuku rapat-rapat dan kukembalikan ket empat semula. Aku  berpaling dan melihat dinding kosku yang penuh dengan tempelan Koran kompas. Aku kembali terpaku pada sebuah judul tulisan “Penggusuran”.

Kembali aku memaki-maki diriku sendiri karena ketidak syukuran yang kumiliki. Kulayangkan fikiranku mambayangkan bahwa betapa ketakutannya mereka yang hidup di dalam sebuar rumah yang berdindingkan dos-dos bekas dan beralaskan tanah. Siang dan malam mereka akan dihantui dengan ketakutan yang begitu mencekam, dihantui dengan suara sirine petugas yang melewati istana mereka dan terus berjaga-jaga jikalau suatu hari nanti istana mereka akan digusur. Tentunya suara mobil telah mematahkan dinding dos yang rapuh itu. Hingga rasa takut itupun semakin membuncah tat kala tempat anak-anak mereka yang tidur dengan pulasnya, tertawa dan berbagi rasa meskipun atap rumah mereka adalah langit yang membentang laus. Dimana saat terik matahari datang mereka akan kepanasan dan saat hujan turun mengguyur, maka mereka akan kedinginan.. Namun semuanya telah diratakan dengan tanah.



Jerit histeris dan tangis haru akan terdengar melolong di sepanjang jalanan. Namun tak ada seorangpun yang iba dengan keadaan ini. Yang ada hanyalah gelak tawa dan pesta kemenangan  para pejabat yang telah menguasai lahan pasaca penggusuran tersebut. Semakin hari drama yang semakin memuakkan terjadi di negeri kita Indonesia ini. Dimanakah sila ke dua Pancasila disembunyikan? “Kemanusian yang Adil dan Beradab” kayaknya kata-kata itu telah berubah menjadi “Kemanusiaan yang Rakus dan Biadab” sungguh miris dan sekali lagi kumengatakan bahwa sangat miris. Takkan pernah usai memikirkan perut sebelum nyawa dicabut. Takkan pernah usai konflik ini jika pemim pin-pemimpin kita kebanyakan tidak jujur.

Aku bersandar di kursi dalam kamarku, sedikit menyadarkan diri dan menyadarkan pembaca, bahwa jangan pernah meneyesali setiap nikmat yang telah diberikan olehNya. Pandanglah ke bawah sebagai landasan instrospeksi diri. Kemudian menolehlah keatas sebagai landasan motifasi. Semoga kita senantyasa menjadi insan yang bersyukur dan tidak banyak mengeluh.

Makassar 1 Maret 2012
Karya Nur samawiah

Top of Form
Bottom of Form


Tidak ada komentar: