Essay oleh Nur Samawiah
Sore itu lagi mendung, bahkan
terlihat sudah, rintik hujan mulai pada rebutan sampai ke bumi. Suasana ruang
perkuliahan sangat ramai, meskipun rasanya suasana itu seperti ngerusak hati
dan malasnya seperti malas-malas ayam, tapi terlihat juga ada teman-teman yang
tetap eksis dibalik semua kegalauan hati ini. Habis sudah, kumandang adzan
azhar dari mesjid mungil yang ada di depan Fakultas tercinta ini. Setelah
sholat azhar, suasana masih mendung namun tak berarti memberi kelenganan
didalam kelas kami, malah membuat ruangan yang besarnya beberapa depa ini
dengan tumpukan kursi yang sudah gak terlihat seperti kursi betulan akibat
tangan-tangan jahil yang gak bertanggung jawab, sangat bising dengan hiruk
pikuk, kasat-kusut, yang entah-berantah membicarakan siapa.
Terlihat seseorang yang
berperawakan tinggi dengan sweater hijaunya, bolak-balik tak karuan di depan
ruangan kelas, dan sesekali menghentakan sepatunya dilantai yang udah gak jelas
warnanya itu. Entahlah apa yang ada difikirannya. Akupun tak bisa membaca hal
rumit itu didalam batok kepalanya yang sekeras batu. Sesekali pula terdengar
tawa dari depan ruangan kelas, hmmm…entahlah akhir-akhir ini ada topik yang
sangat aneh yang mereka perbincangkan. Sebuah topic yang berjudul“Galau”.
Kata-kata itu berulang kali menjadi sarapan dan ditelan mentah-mentah oleh
gelak dan derai tawa yang membahana dan memekakkan telinga. Sebuah tontonan
serial drama yang setiap harinya terus berulang tanpa ada topik revitalisasi
yang pas untuk menggantikan topik “Galau” yang lagi komplikasi dengan berbagai
macam keluh-kesah yang tak pernah berkesudahan.
Kembali terlihat makhluk yang
bersweater hijau itu kasat-kusut, bolak-balik didepan pintu. Sepertinya dia
lagi menunggu seseorang. Akupun tanpa komando ikut-ikutan kasat-kusut karena
menyaksikan pemandangan aneh yang bikin pusing dan mual ini. Ternyata makhluk
itu konon menunggu seorang dosen yang bernama Drs. H. Abdullah DP, M.Ag,
seorang dosen yang akan mengajarkan mata kulyah Etika Profesi Guru (EPG)
druangan mungil kami. Tanpa banyak cincang dan cincong, kuraih tas hitamku
dengan sweater abu-abuku, kemudian kutarik tangan si sweater hijau melangkah
meninggalkan ruangan yang terdiri dari kursi-kursi yang bungkam dan lantai yang
tak berwarna, menuju ke sebuah ruangan yang lebih kecil dari markas kulyah
kami, namun lebih tertata rapi. Wushhh…!!! Hawa segar seakan menampar penatnya
wajah yang mulai kelelahan karena kencangnya hembusan Air conditioner (AC) di ruang
jurusan di lantai II Fakultas. Terlihat Kak Ummi pegawai di jurusan ini
berkemas-kemas, ingin meninggalkan ruangan yang adem ayem ini. Setelah bertanya
mulai dar A-Z mengenai dosen yang sedari tadi ditunggu tak jua memperlihatkan
batang hidungnya, Kak Ummi memberikan nomor telepon si Ketua Jurusan untuk
melaporkan perihal dosen yang konon katanya sudah dua minggu belum juga
menampakkan batok kepalanya. Kurogoh Handphoneku (HP) dari kantong sweater
abu-abuku, hmmm…Handphone yang aneh karena besarnya seperti batu bata dan
beratnya seperti barble 50kg. Kusodorkan HP aneh itu ke si sweater hijau yang
telah mencalling nomor dari ketua jurusan. Terdengar perbincangan sesaat bla
bla bla bla pak pok pung ping pung king kung kong kang bralala lalala puing
suit ciung cank….tut tut tut…..
Si sweater hijau menyerahkan
kembali Hp aneh itu kepadaku, kemudian langsung kumasukkan ke dalam kantong
sweater abu-abuku. Ternyata dosen yang ditunggu-tunggu dan yang belum pernah
menampakkan batang hidungnya, sakit berat. Dia mengalami stroke yang entah
berantah sudah stadium keberapa. Ada sedikit lonjak kegirangan karena dosennya
tidak masuk, tentu inilah wajah kami yang sesungguhnya, begitu sumringah saat
dosen tidak datang dan muka seperti ditekuk, ketika dosennya muncul tiba-tiba
sebelum jam kulyah saking rajin dan bersemangatnya pengen mengajar. Benar-benar
mencerminkan status kebodohan masa depan anak muda bangsa. Dengan kaki
terseot-seot karena ingin menyeimbangkan langkah dengan si sweater hijau yang
berkaki panjang itu. Akhirnya ada 27 anak tangga yang mengantarku sampai
kemarkas kecil bersama si sweater hijau. Si sweater hijaupun menjelaskan
perihal dosen yang terkena stroke tersebut, dan tentunya menurut logika pasti
dosennya gak akan masuk hari ini. Terlihat pemandangan aneh, senyum-senyum
jahannam dan tepuk tangan tanda kebebasan, seolah-oleh senyum dan tepuk tangan
itu tanda kemerdekaan yang tidak ada duanya. Tentunya aku dan si sweter hijau
tak ingin berlama-lama lagi menyaksikan wajah mahasiswa yang tentunya bopeng
sebelah. Tapi gak bisa dipungkiri juga seh kalau aku juga sangat senang dengan
ketida hadiran dosen ini. Gubrakkkkk!!!!!
Belum dua menit, berita ini
begitu lancar dan membuat teman-teman berhamburan meninggalkan markas kecil
itu. Aku dan si sweater hijau melaju dengan kecepatan 70 km/jam di jalan yang
seperti kereta api ini, aku bilang kayak gitu karena jalannnya panjang dan
hanya lurus-lurus saja sampai sejauh beberapa Kilo meter (Km). Tiba-tiba Hp si
sweater hijau berdering. Tittttt pong ping pang lang ling lung ngang gung
dung dang ding dong tut tut tut tuuuutt. Motorpun diputar balik melawan haluan,
ternyata ada dosen pengganti yang masuk. Hatikupun mengumpat, begitupula si
sweter hijau mulai berbicara tidak karuan. Dengan kecepatan penuh si Shogun
melaju dengan kencang menuju ke kampus peradaban tercinta ini yang telah
menghabiskan dana pembangunan baru sebesar 181 milyar. Wow..ajib banget tuh,
kayaknya kampus tercinta ini selain ada yang mencangkul tanah, ternyata ada
juga yang mencangkul uang lama-lama kita-kita ini Mahasiswa yang ikut dicangkul
juga kalo uang dan tanahnya udah habis dicangkul. Mana tahan…..
Sampai di depan markas, ehhh
malah hanya 8 orang didalam ruangan plus dosennya juga. Wah lengang suasananya
markas ini kagak ada konco yang lain seh. Si dosen pengganti menerangkan mulai
dari a i u, ba bi bu, ca ci cu, ma mi mu sampai za zi zu. Hmmm…komplit deh.
Absenpun berlalu dan semua teman-teman yang tidak ada di markas dialfa (tidak
hadir). Si Aslam menjelaskan permasalahn sesungguhnya ke Dosen. Namun si
dosenpun bersikeras terhadap pendapatnya. Benar fikiran gue, mana ada seh dosen
yang ingin disalahkan oleh mahasiswanya? Buktinya seorang dosen dengan
semena-mena memberiku nilai C di mata kulyahnya, padahal semua udah aku patuhi mulai
dari ujung jilbab sampai ujung sepatu, dan yang paling sering berkoar-koar dan
banyak menjawab malah aku, tapi sungguh mengecewakan saat nilai keluar malah
membuat sakit hati. Apa she maunya? Sama halnya denagn dosen yang mengabsen ini
gak mau disalahin lagi. Jelas-jelas dia yang salah karena gak ngasih info
jauh-jauh sebelumnya ato beberapa jam sebelum pelajaran, malah tetap gak mau
ngasih toleran. Ukkhhhh hasempp deh!!! Aku menoleh, kulihat muka si sweater
hijau seperti ditekuk lesu, besok dia akan menjadi bulan-bulanan teman-teman
yng telah dialfa. Padahal ini kan bukan salahnya dia. Dimana logika? Dimana
keadilan?
Hmmm..rasanya sudah capek
mengikuti babak drama yang sangat membosankan ini, semua terasa gak adil, semua
sepertinya percuma, gak bermakna, gak ada timbal baliknya. Ukhhh kapan yah si
sweater hijau senang mengemban tugasnya tanpa harus disalahin. Nasib, nasib si
sweater hijau yang jarang bahkan gak pernah dihargai. Yah seperti inilah
panggung sandiwara, kebanyakan menyalahkan orang lain tanpa melihat
perjungannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar