Ukhhhh……Bising
banget seh!!! Kuaambil guling kutekan rapa-rapat pada telingaku, karena tak
sedikitpun mata ini bisa tertutup mendengar suara bising dan pukulan keras dari
samping tembok kosku. Terdengar suara orang menangis dari depan pintu kos
mungilku itu. “Mama…Uangta…” ternyata si Resti anak Ibu kosku yang paling tua.
Dia menangis meraung-raung hanya karena ingin meminta uang seribu. Namun tak
sedikitpun ada tanda-tanda bahwa dia akan mendapatkan uang seribu rupiah dari
mamanya. Maklum kehidupan ekonomi mereka sangat terbatas. Terkadang dalam
sehari, mereka tidak memiliki lauk pauk untuk sekedar mengenyangkan perut
mereka dari lilitan lapar yang semakin memerih. Raungan Resti semakin menjadi-jadi
dan lebih menggila lagi. Bantal guling ini semakin kutekan pada telingaku.
Hatiku semakin kacau dengan keadaan ini. Ditambah pula dengan suhu kota
Makassar mencapai 32˚C, menambah suasana menjadi panas dan mengundang emosiku
karena tak sedikuipun bisa memejamkan mata. Terdengar suara motor merendah di
samping kosku.
“Kenapaki
menagis nak?” Ternyata bapak kosku yang baru datang dari tempat kerjanya. “Mama
Pak, tidak mau nakasika uang seribu, mauka belli somay” sambil terisak. “ini
uang, kasi juga Agung adikmu” sambil menyodorkaan lembaran dua ribuan. Dengan
seketika derai tangis itupun berhenti. Meskipun bapak Kosku berprofesi sebagai
seorang satpam dia tahu, meskipun serba kekurangan dia tetap tahu bagaimana
harus menyenangkan hati rakyat-rakyat kecilnya di rumah. Beda dengan para
koruptor yang hanya tau meraup uang Negara dan membuat rakyat-rakyat kecil
menjadi sasaran penderitaan akibat ulah mereka yang tidak senonoh itu.
Namun
mata ini belum bisa pula kupejamkan. Masih terdengar suara bising dari samping
kosku. Pukulan itu semakin kencang memekakkan telingaku. “Akhh…..ribut banget
seh….”. Akupun berdiri sambil mengumpat gak karuan, emosiku sepertinya sudah
tak bisa kubendung lagi. Kuambil bukuku yang berjudul Huru -ara di Irak, di
samping lemari bajuku. Kehadiran buku itu mulai sedikit mengobati kepenatanku.
Mengobati tragedi kantukku yang sedari tadi mulai buram dan menghilam di
pelupuk mataku. Kubaca dengan seksama buku Ini yang ikut menenggelamkan
fikiranku menuju ke tahun 2003 silam pasca penggempuran Amerika terhadap Irak
yang begitu biadab selama 43 hari. Dengan tuduhan Irak memiliki senjata
pemusnah massal yang bisa mengancam kehidupan Amerika. Tentunya yang paling
diuntungkan dalam kondisi perang ini adalah Amerika dan Zionis Israel. Sebab, setelah
kejatuhan Saddam maka tidak ada lagi satu Negara telukpun yang berani
membangkan kebijakan Amerika ke depan. Irakpun menjadi Negara boneka Amerika.
Naudzubillah min dzalik.
Ada
satu hal yang membuatku sangat terenyuh. Amerika memiliki sebuah senjata yang
memekakkan telinga, bahkan bisa memecahkan gendang telinga. Sehingga
menimbulkan rasa takut yang mencekam pada kelompok anak-anak dan wanita saat
perang berlangsung.. Aku mulai sedikit tersindir dengan keadaan di buku ini.
Tak bisa kubayangkan betapa mereka mengalami ketakutan yang tak terperikan,
sementara aku siang ini mengumpat habis-habisan karena tidak bisa tidur
mendengarkan suara bising dari samping kosku. Sementara pandanganku melayang
melanglang buana mereka-reka ketakutan mereka. Seolah-olah ketakutan itu
bermain di pelupuk mataku. Apakah kita pernah memikirkan ketakutan mereka di
balik kesenangan kita? Apakah kita pernah membandingkan keadaan kita yan
gemerlap dan segala kemewahan yang kita milki dibandingkan apa yang mereka
alami dan lalui selama ini?
Apakah
kita pernah merasakan ketakutan yang mereka alami saat dentuman-dentuman
melemahkan nadi dan urat saraf mereka? Ini hanyalah sebuah contoh kecil yang
tak pernah kita fikirkan.
Yang
kita tahu hanyalah menyalahkan oang lain, mengumpat dan menebarkan
berjuta-juta keluh tanpa memandang bahwa masih banyak yang lebih menderita
daripada kita. Masih banyak jiwa-jiwa yang hidupnya tak tentu, berjalan,
mengais seonggok luka hingga kemudian menelan banyak duri dalam hidupnya.
Sampai kapan kejadian-kejadian seperti ini usai dengan segala kebiadabannya.
Kututup bukuku rapat-rapat dan kukembalikan ket empat semula. Aku
berpaling dan melihat dinding kosku yang penuh dengan tempelan Koran kompas.
Aku kembali terpaku pada sebuah judul tulisan “Penggusuran”.
Kembali
aku memaki-maki diriku sendiri karena ketidak syukuran yang kumiliki.
Kulayangkan fikiranku mambayangkan bahwa betapa ketakutannya mereka yang hidup
di dalam sebuar rumah yang berdindingkan dos-dos bekas dan beralaskan tanah.
Siang dan malam mereka akan dihantui dengan ketakutan yang begitu mencekam,
dihantui dengan suara sirine petugas yang melewati istana mereka dan terus
berjaga-jaga jikalau suatu hari nanti istana mereka akan digusur. Tentunya
suara mobil telah mematahkan dinding dos yang rapuh itu. Hingga rasa takut
itupun semakin membuncah tat kala tempat anak-anak mereka yang tidur dengan
pulasnya, tertawa dan berbagi rasa meskipun atap rumah mereka adalah langit
yang membentang laus. Dimana saat terik matahari datang mereka akan kepanasan
dan saat hujan turun mengguyur, maka mereka akan kedinginan.. Namun semuanya
telah diratakan dengan tanah.
Jerit
histeris dan tangis haru akan terdengar melolong di sepanjang jalanan. Namun
tak ada seorangpun yang iba dengan keadaan ini. Yang ada hanyalah gelak tawa
dan pesta kemenangan para pejabat yang telah menguasai lahan pasaca
penggusuran tersebut. Semakin hari drama yang semakin memuakkan terjadi di
negeri kita Indonesia ini. Dimanakah sila ke dua Pancasila disembunyikan?
“Kemanusian yang Adil dan Beradab” kayaknya kata-kata itu telah berubah menjadi
“Kemanusiaan yang Rakus dan Biadab” sungguh miris dan sekali lagi kumengatakan
bahwa sangat miris. Takkan pernah usai memikirkan perut sebelum nyawa dicabut.
Takkan pernah usai konflik ini jika pemim pin-pemimpin kita kebanyakan tidak
jujur.
Aku
bersandar di kursi dalam kamarku, sedikit menyadarkan diri dan menyadarkan
pembaca, bahwa jangan pernah meneyesali setiap nikmat yang telah diberikan
olehNya. Pandanglah ke bawah sebagai landasan instrospeksi diri. Kemudian
menolehlah keatas sebagai landasan motifasi. Semoga kita senantyasa menjadi
insan yang bersyukur dan tidak banyak mengeluh.
Makassar
1 Maret 2012
Karya
Nur samawiah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar