Suasana kelas XII IPA_I masih sepi ketika Dira tiba ditempat itu untuk
mempersiapkan segala sesuatunya sebelum pelajaran dimulai, apalagi hari itu
jadwal praktikum biologi adalah jam pertama, jadi mesti berkemas-kemas untuk
persiapan ngelab. Huuuuuuffftttt hheemmmm, Gadis dengan lesung pipi yang sangat
manis itu menarik nafas lega. Dia dengan tenang dan terlihat tanpa
tekanan menyusun alat peraga kerangka manusia tepat pukul 7.05 waktu setempat.
Akhirnya diapun beranjak keruang tempat penitipan tas dilaboratorium. Sambil
tertunduk dia mengambil tas yang berada dilaci loker, akan tetapi dia sedikit
kaget karena tas yang dicarinya ternyata sudah tidak ada, suasana hatinya yang
tadinya adem ayem dengan serta merta berubah menjadi bingung dengan ekspresi
lusuh dan muka seperti diremas-remas dia mencari cari tasnya diloker lain namun
tak juga didapatinya. Tiba-tiba seseorang dengan badan yang tegap dan atletis
berdiri didekatnya, dia sangat mengenal pemilik badan tersebut meskipun dia
hanya memandang sepintas dari belakang badan tersebut.
Segera saja Dira mendekat perlahan-lahan kearah cowok tersebut, terlihat senyum
yang sangat bermakna dari bibirnya entahlah apa yang dia fikirkan dan hal gila
apalagi yang akan dia kerjakan, AaUuucchhhh!!!!!cowok itu merintih dan dengan
gaya reflex dia mebalikkan tubuhnya, ternyata Dira meninju cowok tersebut
dengan tenaga super double, membuat cowok tersebut mengadu kesakitan, namun
bagaimana ekspresi muka Dira setelah melihat cowok tersebut berbalik kearahnya?
Ternyata tidak kalah pucat bin kaget setengah mati, seakan-akan adrenalinnya
sudah terpacu mencapai puncak ratusan kilometer dan jantungnnya dan terus
memompa darahnya dengan kekuatan penuh dan tak terkendali seperti detakan
jantung itu terdengar bagaikan irama lomba pacuan kuda dipadang tandus. Matanya
membelalak dan mukanya yang ayu menjadi bersemu merah padam ternyata bukan
Adjie, tubuhnya lebih tinggi dan lebih putih dengan kumis tipis diatas bibirnya
yang membuatnya beda dengan Adjie.
“Maaf saya kira kamu temanku,” ujar Dira dengan sedikit tertahan karena malu,
kemudian dengan sekonyong-konyong membalikkan badannya dari cowok tersebut dan
berlari berbaur dengan teman-temannya yang telah hadir mengisi kelenganan
kelas. Bersamaan dengan itu bunyi bel bordering, seluruh siswa masuk kelas
kecuali kelad Dira yang akan peraktikum dilaboratorium. “Tunggu!” Cowok itu
mengejar Dira kemudian memberikan tas milik Dira yang sedari tadi dicarinya.
Cowok itu mengulurkan tangannya sambil berjalan beriringan dengan langkah yang
sedikit lambat dibandingkan teman-temannya yang lain.
“Nama saya Edho” ucapnya lirih.
“Kalau kamu siapa sih namanya? Sambungnya dengan pertanyaan yang diiringi
dengan .sedikit sunggingan.
Dengan muka yang seperti dilapisi tembok 5 meter karena menahan malu, Dira
menyambut tangan tersebut. Bagaimana Dira tidak merasa bersalah, tangannya
sendiri masih terasa sakit pasca kejadian tadi, dan tak ayal lagi tentu cowok
itu benar-benar kesakitan sampai mengadu segala dengan cara yang halus
sekalipun.
“Dira Utami.”
“Oh, nama yang manis, sama seperti orangnya!” Ujarnya dengan sedikit gombalan
yang menggelitik hati Dira.
Tidak lama berselang perkenalan mereka Pak Syahrul guru Biologi memasuki
laboratorium, pelajaranpun diumulai. Diam-diam Dira sepertinya sibuk dengan
fikrannya sendiri, dia mengingat-ngingat wajah dan tawa Edho, mengingatkannya
dengan Arfan. Senyum simpul dan tawanya yang sangat khas begitu menyejukkan
hatinya.
Arfan adalah First Love, dia adalah cinta pertama Dira, kakak
kelasnya yang sudah tamat setahun yang lalu dan saat ini telah menjadi
mahasiswa disalah satu perguruan tinggi ternama di Kota ini, wajahnya ganteng
dan dia cukup dikenal di lingkungan sekolah sebgai ketua Osis.
Namun sayangnya Arfan adalah tipe cowok yang egois, dan tinggi hati, Dira
dicampakkannya begitu saja, padahal dia sangat mencintai Arfan hingga begitu
banyak perlakuan yang tak mengenakan yang diberikan Arfan kepada Dira. Begitu
banyak perangai Arfan yang telah menusuk hati Dira, Arfan bercumbu mesra dengan
cewek lain didepan Dira, seakan Dira hanyalah boneka mainan buatnya yang
baginya tak memiliki perasaan sakit.
Hati Dira remuk, perih seperti diiris sembilu karena diperlaukan
sewenang-wenang oleh Arfan, padahal dia rela mengorbankan apa saja untuk
kepentingan Arfan yang sangat dicintainya. Semua kejadian yang dialaminya tidak
akan pernah hilang dalam ingatannya karena telah tergores didalam hati dan
fikirannya dan begitu banyak yang pahit sekalipun masih saja dia kenang karena
perasaanya yang telah diluluh lantakkan.
Hingga suatu ketika, saat bubaran sekolah Dira dengan setia menunggu Arfan
dengan maksud pulang berbarengan dengannya. Cukup lama Dira menunggu dan tidak
seperti biasanya Arfan muncul bergandengan tawan dengan cewek lain, penuh
kemesraan dan dengan entengnya Arfan memberi alasan tanpa perasan
bersalah.
“Maaf Dir, kamu naik bentor saja, saya mau antar Selvi kerumah tantenya, ada
acara ulang tahun sepupunya,” Ucap Arfan dengan lancar tanpa ada beban dengan
kata-katanya. Kontan saja muka ayu Dira berubah drastis terlihat merah padam
dengan diselimuti kekecewaan dan kemarahan yang tak tereda, dia tidak habis
fikir dengan cara Arfan memperlakukan dirinya.
Peristiwa demi peristiwa terus berlangsung mengakibatkan Dira sedikit goyah dan
terganggu konsentrasinya mengikuti pelajaran, hingga hal tersebut sempat
tersebar di sentero sekolah, pasalnya Arfan terkenal dikalangan siswa-siwswi
dan guru-guru. Hubungan Dira dan Arfan bukan Rahasiah lagi, awalnya mereka
pasangan yang serasi, sama-sama cerdas dan seia-sekata dalam langkah dan
penampilan. Namun semuanya sekan ditelan oleh waktu karena Arfan begitu cepat
berubah dan membuatnya seperti tak punya arti lagi.
Namun Dira masih
menyimpan secercah harapan, barangkali Arfan masih ingin kembali padanya. Dia
mencoba berjuang diatas jeritan-jeitan sanubarinya untuk mengingatkan Arfan
pada kata-katanya yang pernah diucapkan sebelumnya,
"Dir! kamulah satu-satunya wanita yang ada dihatiku, aku berharap kamu
akan mencintaiku seutuhnya, Dirapun terbang melanglang buana betapa bahagiahnya
perasaannya saat mendengar kata-kata orang yang sangat dicintainya.
namun semua hanyalah
kata-kata sambel yang gak berbekas Arfan kemudian mencampakkannya lagi kejurang
yang paling dalam setelah mendapatkan Selvi. Dira tidak dapat berbuat apa-apa
lagi kecuali hanya pasrah dengan keadaan, dia menyadari dan terus menyesali
kelemahannya. Arfan memang laki-laki Playboy yang tidak bisa hidup dengan satu
cinta, namun Dira terlalu lugu dan terus mempertahankan perasaannya pada Arfan
yang telah mengkhianatinya.
Namun dalam
pergolakan dan pergumulan batinnya, timbul seberkas cahaya dalam dirinya untuk
segera menghapus galau itu didalam hatinya, dia harus tabah dan harus
berpendirian kuat. Namun satu yang sangat disyukurinya karena pantang bagi Dira
untuk menjual harga dirinya begitu murah dihadapan Arfan dibandingkan dengan
selvi yang melewati batas asusila dan adat ketimuran ketika bergaul dengan
arfan.
Dua tahun telah
terlewatkan, Dira saat ini telah duduk dikelas III SMU, sementara Arfan telah
tamat dan kulyah di fakultas sastra. Seperti biasanya Dira mengisi waktu
luangnya disore hari dengan membaca serta mengulangi materi-materi pelajaran
yang diberikan diseolah. Karena letih menggerogotinya kahirnya disimpannya
buku-buku pelajarn tersebut dan kemudian dipalingkannya mukanya kearah taman
bunga dihalaman rumahnya. Dia kembali mengingat Edho.
Edho adalah lelaki
yang menyenangkan, jujur, berwawasan luas, dan lucu. Dia memang tidak sekya
Arfan tetapi body dan kegantengan serta kepintarannya dimata Dira melebihi
Arfan.. tatapan Dira belum berhenti pada bunga anggrek itu, sambil menghayalkan
orang yang memberinya bunga anggrek kesayanggannya.
Tiba-tiba terlihat
sosok yang sangat dikenal Dira.
“Dira…”
Suara berat itu
menyentakkannya, saat mebalikkan badan Wajah Arfan terekam dimatanya, selintas
terlihat keredupan dimata Arfan.
“saya tidak cocok
dengan Selvi, Dir. Dia suka ngatur,” ujar Arfan pelan sambil duduk.
Dira tak berkomentar,
dia hanya bungkam
“kami sudah memilih
jalan sendiri-sendiri.”
“hmm…oh…yaaa!” Dira
menggumam tanpa makna, mereka semua tidak sebaik kamu Dir, maafkan saya untuk
yang terakhir kalinya, aku takkan berpaling darimu!”
“Maaf?? Untuk apa
kamu menyesal?”
“Untuk semua
kesalahan yang pernah saya perbuat, Arfan seakan memaksa Dira untuk menerima
permintaan maafnya
Meskipun Dira melihat
ada gumpalan sesal, namun dia tak ingin lagi bersama Arfan karena tadi pagi
Edho datang di dekatnya dan menawarkan cintanya.
Namun karena ajaran
mama dan papanya yang mebuatnya tidak pernah membenci Arfan meskipun Arfan
membuatnya seperti tak ada gunanya, dan begitu saja mencampakkannya, dan
berpaling dengan merpati lain, Semua telah berlalu dan bagi Dira tak ada
gunanya untuk dikenang lagi.
Arfan beranjak pergi,
langkahnya gontai, badannya linglung. Kini Merpati itu menggelitik dirinya
sendiri dan sayapnya kini telah patah. Biarlah merpati itu belajar dari
pengalamannya bahwa cinta itu tidak untuk dipermainkan. Semoga luka bisa
membuatnya lebih bijak, belajar dari pengalamannya, menyikapi hidup dan
relung-relung kehidupan yang masih panjang, sebatas usia manusia. Semoga Dira
dan Edho mencapai cita-citanya.
karya nur samawiah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar